Sabtu, 14 Mei 2011

Dakwah dan Tantangan

Pernahkah kita berpikir bahwa dakwah memang manantang. Pernahkah kita merasa dakwah memang tidak mudah. Dan kenyataannya memang seperti itulah dakwah.
Jika dakwah begitu mudah, untuk apa Allah menempatkan para pengembannya lebih mulia dibanding orang lain kebanyakan. Jika dakwah tidak membutuhkan pengorbanan, mengapa rasul harus menempatkan para pengembannya hampir sama layaknya para sahabat.
Percayalah kawan, rintangan dan hambatan adalah suatu kepastian. Tinggal sikap dan tindakan kita yang harus siap dan tegas dalam menghadapinya. Dan memang, para pengemban dakwah adalah orang-orang pilihan.
Dia bukanlah pengecut yang lari begitu dalam terdesak atau akan kalah. Dia selalu terdepan, dan berani walaupun dia harus menghadapi rintangan itu sendirian. Tidak pandang bulu terhadap resiko yang akan menimpanya, karena dia yakin akan mendapati balasan yang jauh lebih besar atas semua yang dia lakukan.
Jikalau pengemban dakwah saat ini begitu lemah dalam bergerak. Penakut menghadapi lawan. Ragu-ragu dalam melangkah. Banyak alasan yang membuat dakwahnya tidak maksimal. Niscaya, jika hal ini terus menerus terjadi, sampai kapanpun kebangkitan islam tidak akan pernah terwujud. Layaknya mimpi-mimpi.
Jadilah pengemban dakwah pilihan. Jadilah pengemban dakwah sejati. Yang memiliki karakter dewasa dan mandiri. Bergerak dan terus bergerak dan tidak cengeng seperti anak kecil. Selalu merengek-rengek minta bantuan. Bahkan selalu menjadi beban pengemban dakwah lainnya…???
Bahkan seharusnya, dengan adanya dia, selalu bisa memberikan solusi terhadap problem bergeraknya dakwah. Ditangan dialah perubahan sistem ini akan terjadi. Di tangan pengemban dakwah yang tidak selalu bergantung. Yang tanpa menunggu di ingatkan lagi oleh struktur atasnya untuk bergerak, mengontak, dauroh, dll.
Ya, di tangan para pengemban dakwah yang kreatif dan inovatif dalam mencari cara jitu menambah kader dakwah, menyerang pemikiran kufur dan meraih semua potensi masyarakat menuju tegaknya syariah dalam bingkai khilafah. Di tangan dia lah Khilafah bukan lagi sekedar mimpi, tapi kenyataan yang akan terwujud dalam waktu dekat.
Jadilah pengemban dakwah tahan banting kawan. Siap dengan semua medan pertempuran. Siap dengan halang rintang yang menghadang. Baik besar ataupun kecil. Baik dari dalam maupun dari luar.
Masalah keluarga, Masalah keuangan, Masalah Rezki, dan Problem lainnya. Jadikan itu sebagai bumbu-bumbu yang nikmat dalam berdakwah. Jangan jadikan itu sebagai rintangan yang membuatmu futur dan menjauh dari jalan ini. Tetap sabar dan istiqomah kawan. Niscaya pertolongan Allah akan segera datang.
Niscaya Khilafah akan menyambutmu. Memintamu menancapkan semua bendera Islam di seluruh puncak negeri di dunia ini.

Khilafah rasyidah yang engkau rindukan. Allahuakbar 10000000000 kali.

Darah, Hal Pertama Yang Diperkarakan Di Hari Kiamat..!!

Sekarang ini, betapa banyak orang yang mengentengkan masalah darah. Bahkan sudah menjadi pemandangan sehari-hari, di televisi, misalnya, melihat tayangan yang berbau pertumpahan darah; pembunuhan sadis, bunuh diri, dan lain sebagainya.

Nampaknya, segologan orang tertentu sudah tidak memusingkan lagi perkara masuk penjara. Yang penting baginya melampiaskan hawa nafsunya dan dendamnya.!? Akhirnya, banyak nyawa melayang secara sadis dengan begitu mudah.

Itulah pemandangan zaman ini; zaman di mana manusia sudah kehilangan jati diri dan pedoman hidup yang mengarahkan mereka ke jalur yang benar. !?

Padahal di dalam Islam, darah teramat berharga.! Harga darah yang tertumpah sangat mahal, yaitu seharga 200 ekor onta.!? Bahkan, bagi Allah, robohnya Ka’bah lebih ringan daripada tertumpahnya darah Muslim.!!

Kajian kali ini, mengangkat tema ‘darah’ ini, semoga bermanfaat.


TEKS HADITS

عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَوَّلُ مَا يُقْضَى بَيْنَ النَّاسِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ فِي الدِّمَاءِ

Dari Abdullah bin Mas’ud RA, ia berkata, Rasulullah SAW pernah bersabda, “Hal yang pertama kali diputuskan (dihisab) diantara sesama manusia pada hari kiamat adalah masalah darah (pembunuhan).” (Mutafaqun ‘alaih)


PESAN-PESAN HADITS

- Besarnya perkara darah manusia, dan tidaklah masalah darah ini didahulukan dari perkara lainnya pada hari kiamat kecuali karena perkara ini lebih besar dan lebih penting dari bentuk-bentuk kezaliman lainnya. Ibnu Daqiq al-‘Ied berkata, “Dalam hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan besarnya masalah darah (pembunuhan), karena memulai sesuatu dilakukan terhadap perkara yang paling penting. Dan perkara darah ini memang pantas didahulukan dari perkara lainnya, karena besarnya suatu dosa tergantung kepada besarnya mafsadat (kerusakan) yang ditimbulkan atau besarnya maslahat yang dihilangkan. Dan membunuh seseorang menimbulkan kerusakan yang sangat besar, maka pantas kalau membunuh itu menempati dosa yang paling besar setelah kufur kepada Allah.

- Penetapan adanya hari kiamat dan hisab (perhitungan amal) dan pemutusan perkara serta balasannya.

- Hadits ini tidak bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh penulis kitab-kitab sunan (Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah) dari Abu Hurairah ra dari Nabi SAW, “Perkara yang pertama kali akan dihisab dari seorang hamba adalah shalatnya”. Karena dalam hadits Ibnu Mas’ud di atas yang dimaksud adalah perkara yang berkaitan antara seorang hamba dengan sesamanya, sedangkan yang dimaksud dalam hadits Abu Hurairah adalah perkara yang berkaitan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Dan tidak diragukan lagi bahwa hak manusia yang paling besar adalah masalah darah, dan hak Allah yang paling besar dari seorang muslim adalah shalat.

- Wajibnya berhati-hati dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak sesama makhluk, agar ia tidak celaka pada hari kiamat nanti, dan hak makhluk yang paling besar adalah masalah darah.

- Wajib atas pengadilan ataupun mahkamah untuk memperhatikan masalah pembunuhan, dan menempatkan masalah ini sebagai prioritas pertama dari masalah-masalah lainnya.

Dialog Antara Seorang Mutarabbi Dan Murabbinya

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh
 
“AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh.” Begitu keluh kesah seorang mad’u kepada murabbinya di suatu malam. Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad’unya. “Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?” sahut sang murabbi setelah sesaat termenung. “Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja…” jawab mad’u itu.   Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.   “Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?”, tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.   Sang mad’u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.   “Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?”, sang murabbi mencoba memberi opsi.   “Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?” serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad’u.   Tak ayal, sang mad’u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.   “Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?” Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad’u. Ia hanya mengangguk.   “Bagaimana bila ternyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?” tanya sang murabbi lagi.   Sang mad’u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.   Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, “Cukup Bang, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan…”   “Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana”, sang mad’u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.   Sang murabbi tersenyum. “Akhi, jama’ah ini adalah jama’ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah.”   “Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta’ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka.”   “Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?” sambungnya panjang lebar.   “Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da’i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah.”   “Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!”   Sang mad’u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.   “Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?” sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.   “Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!”, sahut sang murabbi.   “Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya.”   Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad’u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad’unya yang lain dari asyik tidurnya.   Malam itu, sang mad’u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama’ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. 

Wassalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh